Kamis, 19 Mei 2011

Taat, tapi tidak taklid: Hikmah dari seorang Umar Bin Khatab..

Bagi ‘Umar, teks perjanjian Hudaibiyah sangat merisaukan. Bermula dari licinnya ibn ‘Amr, utusan Makkah yang membuat perjanjian dibuka dengan kalimat “Bismikallahumma” dan bukan “ Bismillahirrahmaanirrahiim”. Juga tentang frase “Muhammad Rasulullah” yang diganti menjadi “Muhammad ibn Abdullah.” Ini menyakitkan. Dan Umar juga keberatan dengan klausul yang menyebutkan bahwa jika ada muslim yang berhijrah ke madinah harus dikembalikan ke Makkah, sementara orang yang keluar dari Madinah menuju Makkah tidak perlu dikembalikan. Terakhir, klausul yang mengharuskan kaum muslim kembali dan umrah tahun depan. Padahal Rasulullah telah berjanji bahwa mereka akan memasuki Makkah.
Perasaan tak terima membuat Umar tergesek sikap kritisnya. Ditemuinyalah Abu Bakar. “wahai Abu Bakar”, begitu serunya, “Bukankah beliau ini utusan Allah?”
“Ya Betul”
“Bukankah kita ini kaum muslimin?”
“Ya”
“Dan bukankah mereka orang-orang musyrik?”
“Ya,engkau benar”
“lalu mengapa kita harus menerima kehinaan di dalam agama kita?”
“wahai umar”, abu Bakar memperingatkan, “Tetaplah pada perintah dan larangan beliau. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa beliau utusan Allah!”
dan aku” teriak umar, “Juga bersaksi bahwa beliau adalah utusan Allah”
Setelah itu, ‘Umar langsung menghadap kearah Sang Nabi. Dikatakannya pada beliau apa yang telah ia ungkapkan pada Abu Bakar. Dan Rasululah pun menutup jawabannya dengan nada tinggi.
“aku adalah hamba Allah dan Rasulnya”, kata beliau. “Aku tidak menentang perintah Allah dan Dian sekali-kali tidak akan menelantarkan aku!”
Umar menghadap kembali kearah Abu Bakar. “bukankah beliau juga menjanjikan bahwa kita akan memasuki Makkah wahai Abu Bakar?”
“apakah beliau juga mengatakan padamu bahwa hal itu terjadi pada tahun ini?” sahut Abu Bakar cepat.
Jawaban cerdas. Kritis. Dan umar pun terbungkam.
Umar tahu. Dia kritis sekaligus bergengsi tinggi, apalagi jika sudah menyangkut agama yang dicintainya. Tak mudah baginya untuk taat pada kondisi ini, melihat apa-apa yang tertulis terasa begitu menghinakan. Dan sejak itu dia menjadi semakin meningkatkan shadaqah, puasa, shalat dan membaca Al Qur’an kaena khawatir amal-amalnya terhapus karena sikapnya. Semoga Allah menyayangi Abu Bakar yang memahami jalan berpikirnya umar dan mampu meredam gejolak-gejolak perasaan sahabat yang keras hati itu. Abu Bakar juga tahu Umar bermaksud baik. Dia memahaminya.
Beruntunglah ‘Umar yang bersahabat dengan Abu Bakar. Yang mampu meluruskan disaat karakter sendiri menyulitkannya mentaati Sang Nabi. Itulah mungkin jalan kita, bersahabat dengan orang-orang mulia.
Di jalan cinta para pejuang, kita berlatih untuk Taat meski kondisi-kondisinya tak mudah.
Dengan tekad pribadi. 
Dengan orang-orag tercinta yang mendukung sepenuh jiwa.
Salim A Fillah –Jalan Cinta Para Pejuang-

Subhanallah...;))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Air, Embun, Bintang, Langit, Pelangi

Menghargai hidup, itu artinya menghargai apa2 yang Allah berikan kepada kita. Kesusahan, kesenangan..
adalah bagian agar hidup menjadi lebih hidup.
seperti air yang bermanfaat..
seperti embun yang bening menggeliat
seperti bintang yang rela menunggu jutaan tahun untuk memancaarkan sinaarnya..
seperti langit yang biru berkisah..
seperti pelangi yang tak sempurna bulatnya..

Jangan sekedar diLihat, tapi juga di baca yo..!

Jangan sekedar diLihat, tapi juga di baca yo..!
Semoga bermanfaat.

Label

Powered By Blogger