Makin ke sini, suasananya semakin sepi. Semakin tergilas dalam arus antara
ego dan kepekihuwan ku. Aku hanya
bisa bernafas di dalam atmosfer ku sendiri, sendiri. Berbeda drastis dengan dulu, menghela dan
manariknya sendiri, senada walau tak begitu beraturan. –aku kehilangan-
Sekejap, semua hiruk pikuk yang dulu menemaniku setahun lebih lelap dalam
mimpi-mimpi ku. Nyaris, tak menyisahkan ”rasa” lagi. Jika tidak karena Dia. Mungkin
sifat manusiawiku telah lama berlarian, tak peduli lagi dengan situasi kini. Entah,
mungkin aku sedang terjebak dalam kesendirian ku. Melawan pikir-pikiran ”konyol”
itu sendiri. Bahkan di arus terderas ini, tak ada tangan-tangan lembut yang
menggapaiku seperti duli.
-Bimbang-. Lebih tepatnya itu yang membayangi langkah lunglai ini. Aku tidak
galau, hanya bimbang. Lantas, apa bedanya? #deg.
Makin ke sini, rasa bersalah ini makin menghujat berlebihan. Semua serasa
berjalan dengan abnormal. Ternyata bisa jadi hal-hal yang dulunya mmebuatmu
menangis berulangkali, akan kau rindukan -sangat-. Bisa jadi, hal-hal yang
dulunya begitu mengerikan, menjadi sisi tersendiri yang lekat dalam otak
tengahmu.
Ah, apa ini. Apa virus ini telah berinokulasi melebihi ambang batasnya. Atau
aku saja yang tak mau memulai untuk membasmi mereka, menghabisi total. Ini bagaikan
jamur akar putih pada karet, yang begitu cepat dan dahsyatnya menyerang bagian
vital tubuh ini. Habis daya, energipun tak ada.
Ternyata, aku rindu. Rindu taushiyah-taushiyah itu, baik kirimanku maupun
orang lain. Sebegitu lama, aku tak pernah menjarkom lagi. Mengundang maupun
diundang. Ah, ternyata aku merindu saat-saat dimana aku harus memaksa menahan
tangisku, terlihat kuat walau hati teriris sembilu. Namun sekarang justru
sebaliknya, aku tak jauh lebih kuat dari dulu. Justru teguran-teguran itulah
yang dulu menguatkanku. Namun sekarang, semua hilang. Sekerjap saja. Tak butuh
waktu lama. Aku justru makin lemah, tanpa teguran-teguran itu. Seperti mengalir
tanpa tujuan, seperti bernafas tanpa jedah. Ya, sesuka ku saja. Rindu
paksaa-paksaan lembut itu, rindu wajah-wajah kecewa mereka. Apakah memang bukan
saatnya lagi?? Aku rindu mbak2 terbaikku, rindu adik2 hebatku, dan rindu
saudara2 seimanku.
Ukhuwah itu memang masalah
feel, masalah hati. Tak akan berguna jika ia hanya sebatas kata tanpa makna,
tanpa rasa. Karena ukhwuh tidak abu-abu. Ia terkadang putih, atau berdegradasi
menjadi warna-warni. Dan sungguh, aku rindu saat-saat itu.
Ia tak palsu, karena ia
nyata dan fakta. Ia terkadang menjadi angin, yang tak bisa kau lihat tapi bisa
kau rasa. Ia terkadang menjadi api, yang hangat menggelora. Ia juga air, yang
bermanfaat lagi menyegarkan. Bahkan. Ia lebih indah dari pelangi yang hanya
hadir sekejap itu.
"ternyata, rindu itu seperti ini. tak cekung, tidak juga datara. tapi tak ubahnya seperti lingkaran, yang tak memiliki sudut untuk menghentikannya. terus dan terus berjalan"
*memoar, Juni
2011*
kala kita rindu akan ilmu2 Nya,,maka segeralah mencari lagi liqo2 atau tempat kita bisa mendapat lg ilmuNya..
BalasHapusUkhuwah itu sngat indah,,aku juga jadi rindu masa2 aku di rohis SMA..-__-
kalu berkenan mampir kesini ya EPICENTRUM
yupz sepakat mas, karena ukhuwah itu bkn sekedar basa-basi. jadi ketika ia sudah hadir, selalu ngangeni..
BalasHapusSeblmnya syukron kunjungannya mas, anak pertanian ya? slm kenal..
ya sdh brkunjung koq. blognya bagus.. :)
Aku suka larikan bahasanya. Indah. Elok. Dan, aku pun tidak kalah sukanya dgn pesan utama postingan di atas: UKHUWAH secara tulus luar dalam. salam ukhuwah
BalasHapusAlhamdulillah, semoga bisa memberi manfaat. Salam ukhuwah dan salam kenal mas.
HapusJazakallah sudah mampir.. ^_^