Sore yang
menjingga. Aku tetap diam menatap takjub SMS dari dia. Entah apalagi maksud
dari kisah ini. Degup jantung ku semakin tak menentu saja untuk memabalas SMS
darinya. Rasanya maksud tak ingin membalas SMS ini, tapi hati berkata lain.
Lagi-lagi, aku tak bisa membohongi. Sore yang menjingga. Aku tetap diam dalam
rona ku yang sungguh beda.
***
Hari itu aku,
kakak, dan ibu pergi ke kota. Sekedar mengajak kakak ku yang baru pulang untuk jalan-jalan. Yah padahal
dia juga baru pulang dari kota. Tapi tak masalah.. anggap saja melepas penatnya
seharian di kota seberang yang membuat otaknya terkuras. Aku tak pernah tau,
hari itu akan menjadi hal terburuk bagiku, namun juga hal ternyaman.
Perjalanan ke
kota kami tempuh dengan bus antar kota kabupaten. Bus yang buat sesak dan
pengap. Bagimana tidak, kondisi penumpang yang sudah menjejal maish saja harus
ditambahi dengan penumpang yang menunggu di pinggiran jalan. Al hasil, kali itu
kami dapat bagian kursi paling belakang. Duduk bertiga. Aku-ibu-kakak.
Perjalanan ke
kota kami tempuh sekitar satu setengah jam, menikmati perjalanan dengan kondisi
berjejalan seperti itu sama saja disebut ”pemaksaan”. Haaah. Gerha sekali
rasanya, belum lagi ditambahi asap rokok yang mengepul dimana-mana. Untung pagi
itu aku menyempatkan diir untuk sarapan dulu sebelum pergi ke kota. Kalau tidak, entah pakai apa aku akan
meluapkan isi perutku.
Sesampai di kota,
kami memilih untuk segera menuju pusat perbelanjaan yang lebih banyak menjual
pakainnya. Ya, saat itu ibu memang berniat membelikan kakak pakaian. Entah juga
kenapa. Padahal sebenanrnya kakak juga tinggal di kota selama ini. Begitulah
seorang ibu, selalu ingin memberi tanpa bermaksud balasan apapun.
Saat itu matahari
telah hampir menenggelamkan cahayanya. Indah merona tentunya ketika mampu
menikmatinya. Apalagi bisa menikmatinya bersama keluarga. Tapi sayang beribu
sayang, semua tidak berlaku seperti itu. Sore itu, hampir selesai tujuan yang
kami cari. Kami, aku dan kakak mendapaati ibu yang bertingkah sedikit
mencurigakan. Bahkan sangat.
Akhirnya kami mulai
menduga-duga, adakah sesuatu yang telah dilakukan ibu dan dirahasiakan dari
kami. TIDAK. KU MOHON TIDAK UNTUK SEKARANG YA RABB. Biarkan kami melupakan
semua kejadian itu sejenak dari memori yang penuh ini.
Dengan sigat,
kakak mencoba mendekati ibu dan mencari tahu. Dan ternyata benar. Kejadian itu
terulang lagi. Terekam lekat dalam memori otak ku. Duhai Rabb.. ampuni aku,
jika diam ku selama ini berefek seperti ini pada keluarga kecil kami.
Lemah, aku
sungguh lemah saat itu. Tak mampu berkata-kata. Entah harus apa yang ku lakukan
saat tahu itu terjadi lagi. Segeralah kami menyingkir, dan mencari tempat aman
untuk membahas hal rumit ini. Dan ku putuskan, sms sahabatku.
SMS dia, dengan
nada sedang bersedih. Tapi yang bales bukan dia, malah sosok yang buat adem
hati ku. Lalu bergumam dalam hati, menebak-nebak. Jodohkah kami?? Kenapa dia
tahu sekali ketika itu aku sedang bersedih, kenapa harus dia pula yang bales
SMS kesedihanku, kenapa pula dia merespon dengan baik, dengan jawaban yang
pakem bagi ku?? Allah,
Jodohkah kami. Terbesit di dalam hati kata-kata seperti itu. Khidmat sekali aku
membaca nasehat yang ia berikan pada ku. Sampai akhirnya aku bertanya lagi,
Allah, jodohkah kami??
Awan berkejaran,
mengiringi gerak angin yang berarakan. Aku rasanya ingin ikut berlarian di
sana. Bercuap-cuap tentang segala asa yang berkecamuk dalam dada. Tangan ku
masih gemetar. Getar yang tertinggal akibat membalas SMS darinya. Aku akut
dalam kalut. Antara bahagia dan sedih. Hingga akhirnya, hanya bisa diam.
Khidamat lagi menatap SMS berisi nasehat darinya. Sungguh sore yang indah,
namun penuh luka. Diam-diam dalam hati terbesit berdoa. ”Allah, semoga jodoh ku
dia dan aku jodohnya”..
*Bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar