Indonesia
merupakan negeri agraris, namu pertanyaannya sudahkah Indonesia yang
secara fitrahnya merupakan negeri agraris menunjukkan jati dirinya?
Halini selalu menjadi perhatian tersendiri, mengingat kondisi pertanian
di Indonesia belum mampu mensejahterakan petani secara keseluruhan.
Indonesia sebagai negeri agraris seolah hanya menjadi simbol yang hanya
dapat dilihat dari kondisi geografisnya. Sedang kondisi kekinian
Indonesia sebagai negeri agraris sama sekali tidak sesuai dengan kata
agraris. Sebagai negara yang secara administratif memiliki daerah yang
menguntungkan dari segi pertanian, negara ini belum bisa menjadikannya
dinamis dalam tataran aplikatif. Kenapa Indonesia semakin kehilangan
pencitraannya sebagai negeri agraris?
Berita yang
sedang hangat-hangatnya terdengar saat ini adalah kabar bahwasanya
orang-orang pembuat tahu-tempe kewalahan. Hal ini disebabkan karena
kedelai sebagai bahan baku pembuat bahan makanan khas Indonesia itu
kesulitan untuk didapatkan. Padahal petani Indonesia juga menanam dan
memproduksi tanaman kedelai, akan tetapi sayangnya kedelai yang ditanam
oleh petani Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan nasional.
Lagi-lagi fitrah negeri ini sebagai agraris seolah kehilangan pesonanya.
Bukan hanya di luar tetapi juga di dalam negeri sendiri. Parahnya
pertanian saat ini malah dipandang orang-orang makin emplisit. Tak
banyak seorang menilai pertanian hanya bagian dari caping, cangkul, dan
pak tani- buk tani. Padahal ketika kita bicara terkait masalah
pertanian. Bahasannya tidak akan sesederhana itu. Pertanian merupakan
aspek yang sangat luas dalam negeri ini, jika dihubungkan dengan bidang
lain. Akan ada kait-mengait, ibarat rantai yang tak bersimpul. Revolusi
hijau merupakan salah satu bukti pertanian merupakan ahal yang pokok di
negeri kita. Bagaimana saat itu ketika krisi, pertanianlah yang dapat
membantu bangsa ini dalam menanganinya.
Tentang kedelai
Kedelai (genus Glycine)
merupakan jenis tanaman pangan yang tergolong ke dalam rumpung tanaman
polong-polongan. Biji kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan
makanan pokok khas bangsa Asia bagian Timur, seperti China, Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, hingga ke kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia
sudah sejak lama biji kedelai dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan
tahu dan tempe sebagai salah satu makanan pokok untuk mensuplai
kebutuhan protein nabati (Kusuma, 2012).
Ada dua macam jenis tanaman kedelai yang masing-masing memiliki karakteristi sebagai tanaman pangan,yaitu kedelai putih (Glycine max) dan kedelai hitam (Glycine soja).
Kedelai putih memiliki biji kedelai berwarna kuning atau putih atau
agak hijau. Jenis kedelai putih merupakan jenis tanaman subtropik yang
biasanya tumbuh di wilayah China dan Jepang (dan wilayah subtropik
lainnya seperti Amerika). Sedangkan kedelai hitam yang memiliki biji
kedelai berwarna hitam merupakan jenis tanaman tropik yang ditemukan di
kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kedelai putih yang sebenarnya
paling digemari, karena memiliki biji yang lebih besar, serta lebih
mudah untuk diolah menjadi tahu ataupun tempe (Kusuma, 2012).
Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2011 produksi kedelai lokal hanya
851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan sehingga Indonesia harus
mengimpor 2.087.986 ton kedelai untuk memenuhi 71 persen kebutuhan
kedelai dalam negeri. Tahun 2012, total kebutuhan kedelai nasional
mencapai 2,2 juta ton dan 83,7 persen diantaranya untuk memenuhi
kebutuhan pangan, termasuk untuk pengrajin tahu-tempe. Kebutuhan
industri Kecap, Tauco, dan lainnya hanya 14,7 persen dan benih 1,2
persen.
Permasalahannya
adalah kenapa ketersediaan kedelai masih belum mencukupi kebutuhan
nasional? Menurut Harry (2012), masalah pemenuhan kebutuhan kedelai
dalam negeri lebih terjadi karena pemerintah tidak memberikan
perlindungan atau insentif kepada petani kedelai, membuat mereka tidak
bisa mendapat keuntungan layak dari menanam kedelai. Petani kedelai tak
dilindungi pemerintah misalnya dengan menetapkan Harga Patokan
Pemerintah atau HPP.
Petani
bukanlah pihak yang paling menentukan harga akhir, melainkan lebih
banyak ditentukan oleh distributor yang sekaligus berperan sebagai
spekulan. Dengan masuknya kedelai impor, pihak petani kedelai tidak bisa
begitu saja menetapkan harga, sehingga akan membuat biaya oportunitas
menanam kedelai menjadi semakin tinggi ( Kusuma,2012). Hal ini akan
membuat tengkulak atau pedagang pengumpul akan semena-mena mematok harga
di tingkatan petani dan pasar. Contohnya menurut Harry (2012) Petani
kedelai hanya bisa menjual kedelai seharga Rp4.000 per kilogram
sementara tengkulak bisa menjual ke pasar dengan harga Rp6.500 per
kilogram.
Permasalahan
ini lagi-lagi menjadi permasalahan pokok dalam bidang pertanian
khusunya terkait pemasaran produk pertanian. Adanya tengkulak disatu
sisi mampu membantu petani dalam menjual hasil produksinya, namun disisi
lain lebih banyak kerugian yang diakibatkan oleh tengkulak. Ketika
petani memilih untuk menjualnya secara eceran, maka petani takut
menanggung resiko kerusakan hasil produksinya. Itulah kenapa menjual
hasil produksinya kepada tengkulak selalu menjadi pilihan.
Tanaman
kedelai sempat mengalami masa gemilang dengan dicapainya swasembada
kedelai pada tahun 1992. Produksi kedelai pada masa itu mampu mencapai
angka 1,88 juta ton per tahun, bahkan mendekati 2 juta ton kedelai.
Setelah masa reformasi, atas saran dari IMF, pemerintah Indonesia
diharuskan untuk melepas campur tangannya dalam tata kelola pertanian
untuk tanaman kedelai. Akibatnya, setelah tahun 2000, produksi kedelai
di dalam negeri tidak pernah mencapai angka 1 juta ton atau rata-rata
hanya mencapai sekitar 0,88 ton. Sementara itu, setelah tahun 2004,
rata-rata konsumsi kedelai di dalam negeri telah mencapai di atas 2,6
juta ton. Ini berarti hampir dua per tiga pasokan kedelai di dalam
negeri didatangkan dari mekanisme impor (Kusuma, 2012).
Pada
hakekatnya kita tidak harus terjebak lagi dalam kesalahan yang sama.
Sudah semestinya pemerintah mulai memikirkan nasib para petani, karena
permasalahan terkait harga pokok ini tidak hanya terjadi pada komoditas
kedelai. Tetapi untuk semua komoditi, sehingga membuat petani enggan
untuk memproduksi lagi komoditas tersebut. Kita sebagai negara yang
memiliki ketersediaan lahan yang cukup luas dengan berbagai jenis
tanaman yang dapat dihasilkan, sudah seharusnya justru menjadikannya
sebagai aset untuk negara kita. Walaupun saat ini perdagangan bebas dari
aspek pertanian telah diterapkan diberbagai negara, kita juga harus
memikirkan sektor pembangunan bangsa dengan tidak ”latah” untuk
mengikuti kebijakan luar tanpa menyesuaikan tempo yang ada. Karena jika
kita belum mampu menyamai negara lain, mengikuti sistem perdagangan
bebas lama kelamaan hanya akan menggerus kondisi pertanian kita menuju
titik paling kritis. Prinsip dan pengertian mekanisme persaingan yang
sehat atau mekanisme pasar haruslah mengacu pada kepentingan pasar di
dalam negeri, bukan kepentingan pasar internasional. Hal ini dikarenakan
Indonesia masih memiliki potensi dan kemampuan untuk memproduksi
ataupun memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Maka dari itu ada banyak hal
yang harus dibenahi terkait sektor pertanian, agar kesejahteraan petani
tidak hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu saja. Tetapi dirasakan
semua petani. Sehingga Indonesia sebagai negeri agraris dapat
mengembalikan khasanahnya yang semakin pudar.
Sumber:
Kusuma, Leo. 2012. Kisruh Harga Komoditi Kedelai. Diakses (Online). (http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/07/mengenai-kisruh-harga-komoditi-kedelai.html, diakses 28 Juli 2012).
salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
BalasHapusBersabarlah dalam bertindak agar membuahkan hasil yang manis.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.
Blog yang manis... ^_^
BalasHapusjoinlah juga ke blog ane,
tak lupa ane ditunggu kritikannya...
thank you