Minggu, 29 Juli 2012

Kisah Tahu-Tempe di Negeri Agraris

Indonesia merupakan negeri agraris, namu pertanyaannya sudahkah Indonesia yang secara fitrahnya merupakan negeri agraris menunjukkan jati dirinya? Halini selalu menjadi perhatian tersendiri, mengingat kondisi pertanian di Indonesia belum mampu mensejahterakan petani secara keseluruhan. Indonesia sebagai negeri agraris seolah hanya menjadi simbol yang hanya dapat dilihat dari kondisi geografisnya. Sedang kondisi kekinian Indonesia sebagai negeri agraris sama sekali tidak sesuai dengan kata agraris. Sebagai negara yang secara administratif memiliki daerah yang menguntungkan dari segi pertanian, negara ini belum bisa menjadikannya dinamis dalam tataran aplikatif.  Kenapa Indonesia semakin kehilangan pencitraannya sebagai negeri agraris?

Berita yang sedang hangat-hangatnya terdengar saat ini adalah kabar bahwasanya orang-orang pembuat tahu-tempe kewalahan. Hal ini disebabkan karena kedelai sebagai bahan baku pembuat bahan makanan khas Indonesia itu kesulitan untuk didapatkan. Padahal petani Indonesia juga menanam dan memproduksi tanaman kedelai, akan tetapi sayangnya kedelai yang ditanam oleh petani Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Lagi-lagi fitrah negeri ini sebagai agraris seolah kehilangan pesonanya. Bukan hanya di luar tetapi juga di dalam negeri sendiri. Parahnya pertanian saat ini malah dipandang orang-orang makin emplisit. Tak banyak seorang menilai pertanian hanya bagian dari caping, cangkul, dan pak tani- buk tani. Padahal ketika kita bicara terkait masalah pertanian. Bahasannya tidak akan sesederhana itu. Pertanian merupakan aspek yang sangat luas dalam negeri ini, jika dihubungkan dengan bidang lain. Akan ada kait-mengait, ibarat rantai yang tak bersimpul. Revolusi hijau merupakan salah satu bukti pertanian merupakan ahal yang pokok di negeri kita. Bagaimana saat itu ketika krisi, pertanianlah yang dapat membantu bangsa ini dalam menanganinya.

Tentang kedelai

Kedelai (genus Glycine) merupakan jenis tanaman pangan yang tergolong ke dalam rumpung tanaman polong-polongan. Biji kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan makanan pokok khas bangsa Asia bagian Timur, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, hingga ke kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia sudah sejak lama biji kedelai dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan tahu dan tempe sebagai salah satu makanan pokok untuk mensuplai kebutuhan protein nabati (Kusuma, 2012).

Ada dua macam jenis tanaman kedelai yang masing-masing memiliki karakteristi sebagai tanaman pangan,yaitu kedelai putih (Glycine max) dan kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai putih memiliki biji kedelai berwarna kuning atau putih atau agak hijau. Jenis kedelai putih merupakan jenis tanaman subtropik yang biasanya tumbuh di wilayah China dan Jepang (dan wilayah subtropik lainnya seperti Amerika). Sedangkan kedelai hitam yang memiliki biji kedelai berwarna hitam merupakan jenis tanaman tropik yang ditemukan di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kedelai putih yang sebenarnya paling digemari, karena memiliki biji yang lebih besar, serta lebih mudah untuk diolah menjadi tahu ataupun tempe (Kusuma, 2012).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2011 produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan sehingga Indonesia harus mengimpor 2.087.986 ton kedelai untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. Tahun 2012, total kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2 juta ton dan 83,7 persen diantaranya untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk untuk pengrajin tahu-tempe. Kebutuhan industri Kecap, Tauco, dan lainnya hanya 14,7 persen dan benih 1,2 persen.
Permasalahannya adalah kenapa ketersediaan kedelai masih belum mencukupi kebutuhan nasional? Menurut Harry (2012), masalah pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri lebih terjadi karena pemerintah tidak memberikan perlindungan atau insentif kepada petani kedelai, membuat mereka tidak bisa mendapat keuntungan layak dari menanam kedelai. Petani kedelai tak dilindungi pemerintah misalnya dengan menetapkan Harga Patokan Pemerintah atau HPP.

Petani bukanlah pihak yang paling menentukan harga akhir, melainkan lebih banyak ditentukan oleh distributor yang sekaligus berperan sebagai spekulan. Dengan masuknya kedelai impor, pihak petani kedelai tidak bisa begitu saja menetapkan harga, sehingga akan membuat biaya oportunitas menanam kedelai menjadi semakin tinggi ( Kusuma,2012). Hal ini akan membuat tengkulak atau pedagang pengumpul akan semena-mena mematok harga di tingkatan petani dan pasar. Contohnya menurut Harry (2012) Petani kedelai hanya bisa menjual kedelai seharga Rp4.000 per kilogram sementara tengkulak bisa menjual ke pasar dengan harga Rp6.500 per kilogram.

Permasalahan ini lagi-lagi menjadi permasalahan pokok dalam bidang pertanian khusunya terkait pemasaran produk pertanian. Adanya tengkulak disatu sisi mampu membantu petani dalam menjual hasil produksinya, namun disisi lain lebih banyak kerugian yang diakibatkan oleh tengkulak. Ketika petani memilih untuk menjualnya secara eceran, maka petani takut menanggung resiko kerusakan hasil produksinya. Itulah kenapa menjual hasil produksinya kepada tengkulak selalu menjadi pilihan.

Tanaman kedelai sempat mengalami masa gemilang dengan dicapainya swasembada kedelai pada tahun 1992. Produksi kedelai pada masa itu mampu mencapai angka 1,88 juta ton per tahun, bahkan mendekati 2 juta ton kedelai. Setelah masa reformasi, atas saran dari IMF, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melepas campur tangannya dalam tata kelola pertanian untuk tanaman kedelai. Akibatnya, setelah tahun 2000, produksi kedelai di dalam negeri tidak pernah mencapai angka 1 juta ton atau rata-rata hanya mencapai sekitar 0,88 ton. Sementara itu, setelah tahun 2004, rata-rata konsumsi kedelai di dalam negeri telah mencapai di atas 2,6 juta ton. Ini berarti hampir dua per tiga pasokan kedelai di dalam negeri didatangkan dari mekanisme impor (Kusuma, 2012).

Pada hakekatnya kita tidak harus terjebak lagi dalam kesalahan yang sama. Sudah semestinya pemerintah mulai memikirkan nasib para petani, karena permasalahan terkait harga pokok ini tidak hanya terjadi pada komoditas kedelai. Tetapi untuk semua komoditi, sehingga membuat petani enggan untuk memproduksi lagi komoditas tersebut. Kita sebagai negara yang memiliki ketersediaan lahan yang cukup luas dengan berbagai jenis tanaman yang dapat dihasilkan, sudah seharusnya justru menjadikannya sebagai aset untuk negara kita. Walaupun saat ini perdagangan bebas dari aspek pertanian telah diterapkan diberbagai negara, kita juga harus memikirkan sektor pembangunan bangsa dengan tidak ”latah” untuk mengikuti  kebijakan luar tanpa menyesuaikan tempo yang ada. Karena jika kita belum mampu menyamai negara lain, mengikuti sistem perdagangan bebas lama kelamaan hanya akan menggerus kondisi pertanian kita menuju titik paling kritis. Prinsip dan pengertian mekanisme persaingan yang sehat atau mekanisme pasar haruslah mengacu pada kepentingan pasar di dalam negeri, bukan kepentingan pasar internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia masih memiliki potensi dan kemampuan untuk memproduksi ataupun memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Maka dari itu ada banyak hal yang harus dibenahi terkait sektor pertanian, agar kesejahteraan petani tidak hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu saja. Tetapi dirasakan semua petani. Sehingga Indonesia sebagai negeri agraris dapat mengembalikan khasanahnya yang semakin pudar.

Sumber:
Kusuma, Leo. 2012. Kisruh Harga Komoditi Kedelai. Diakses (Online). (http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/07/mengenai-kisruh-harga-komoditi-kedelai.html, diakses 28 Juli 2012).

AntaraNews.com. Peneliti Indonesia banyak hasilkan kedelai varietas unggul. (Online). (http://www.antaranews.com/berita/323713/peneliti-indonesia-banyak-hasilkan-kedelai-varietas-unggul, diakses 28 Juli 2012).

Kamis, 26 Juli 2012

*MoMentum*

Hal yang paling buat jegger dalam hidup ini adalah saat melalui semuanya sendiri, tanpa mama-papa yang memanja, tapa kakak-teteh yang memotivasi, atau tanpa suara mbah yang parau renta namun buat nyess. Tapi ternyata, ada saja yang selalu setia membersamai, wah apa itu ta? Dua malaikat dikanan-kiri, yang sigap mencatat secara fisikly maupun yang tersembunyi di dalam hati. Namun yang paling special adalah saat yang membersamai kita adalah Allah. Allah yang membuat kita bisa mengaburkan air mata, walaupun saat itu kita rasanya sudah tak bisa menahan tumpahan air mata. Allah yang selalu berbisik perlahan, bahwasanya setiap kejadian adalah hikmah sebuah kedekatan. Dekat bukan sembarang dekat, tapi dekatnya hanya sehasta.
Betapa beruntungnya kita punya Tuhan Allah, yang maha Rahman dan Rahim.. cobalah bayangkan kalo disetiap tarikan dan hembusan nafas kita itu tidak gratis. Berapa banyak bayaran yang harus kita berikan disetiap persekian detik. Hufftt hahh.. *Izin narik nafas dulu dah* teong ups kebalik *toeng

Dekat yang sehasta, saat kita pernah jemu berkelu pada bukan selain Dia. Siapa lagi yang tak pernah bosan mendengarkan, siapa lagi yang selalu setia menunggui kita, kitanya saja yang terkadang keterlaluan, tak pernah sadar *Yangbutuh itu siapa ha?* Tapi sekalipun kita telah jauh, Allah tak pernah alfa memberikan Rahman dan RahimNya kepada kita. Oalahh.. kenapa kita menjadi manusia selalu lupa akan syukur. Apalagi yang kurang di dalam kehidupan ini? Semua lengkap, anggota tubuh lengkap, garis keluarga lengkap, atau secara kebutuhan kitapun dicukupi. Ya cukup, batasan rasa cukup ini yang terkadang tidak kita miliki. Sehingga kita meminta lebih dan lebih. Tak masalah bagiNya, karena Dia juga Maha Kaya Raya. Apa yang tidak Dia punya *bulan, Planet, galaksi,*bintang? *Blushingggg*. Tapi lagi-lagi esensi kita dalam meminta, atau prioritasnya terkadang tak sesuai dengan yang kita butuhkan, kita bukan butuh hanya sekedar menginginkan. Apalagi kita meminta hanya membawa tangan yang menengadah, sedang setelah dapat, kita lupa azas hak-kewajiban. Kita hanya menuntut hak, tanpa mau melakukan kewajiban, kalau kewajiban saja tidak, bagaimana dengan yang sifatnya sunah.

Sudah lupa kewajiban, kita lupa lagi untuk bersyukur dengan memuji Kekasih kita ini. Hanya sekedar melafazkan rasa syukur pun kita lalai, bagaimana kalo Allah pergi dari kita. Allah memberikan saja apa yang kita minta, tanpa mau-tau, atau lebih tepatnya tanpa peduli apakah hal yang kita minta dibutuhkan atau tidak untuk kita. Bukankah Allah memberi sesuatu sesuai dengan kemampuan hambaNya. Orang kaya raya, yang tak siap kaya raya mungkin akan bahagia-bahagia saja mendapatkan kekayaaanya yang –cumatitipan. Tapi sayangnya esensi dari kekayaan yang dia miliki akan berbeda.

Kita terkadang bukan lupa atas anugerah yang diberikan Allah, tapi kita terlalu banyak main hitung-hitungan. Hitung-hitungan seorang yang Cuma tamatan SMA atau tamatan strata satu,
Mana bisa disamakan dengan hitung-hitungan untuk anugerah dari Allah yang berlimpah. Ibaratnya kita tuliskan nikmat-nikmat itu di atas dedaunan di bumi, maka lautpun tak akan cukup tuk dijadikan tintanya.

Segala puji bagi Allah yg telah memberi kepada kita kecukupan & kepuasan yg tidak terabaikan & tidak tertolak (HR. Bukhari).


Aku renta dalam gelimang dosa
Aku jatuh bersimpuh noda
Duhai rabbi
Aku mengharap syurga?
Sedang amalku tak seberapa
Aku merinduMU
Sedang cintaku tidak bekerja

Sudahkah kita bersyukur hari ini???

Rabu, 25 Juli 2012

#1 Dakwah bil Profesi; Bukan salah petani yang pintar, tapi penyuluh yang kurang belajar

Hilangnya sifat kepercayaan petani kepada penyuluh sudah menjadi hal yang sangat lumrah dialami di lapangan oleh para penyluh pertanian. Permasalahannya tidak hanya terletak pada petaninya, tetapi penyuluh sebagai komunikan terkadang kurang bisa memberikan feed back saat berkomunikasi dalam menyampaikan gagasannya. Salah siapa?

Ternyata SKS demi SKS yang telah dilalui oleh seorang sarjana strata satu, tak jarnag kebanyakan kurang membekas dalam ingatan mereka. Ini masalah dosen yang salah menyampaikan atau mahasiswa yang kurang belajar. Dosen sering sekali mengatakan bahwasanya mahasiswa dituntut untuk mandiri, maksudnya ia tidak hanya mengandalkan jam-jam perkuliahan yang tidak seberapa itu. Mahasiswa dituntut untuk banyak mengupas pengetahuan dan ilmu-ilmunya dari berbagai saran dan prasarana, ataupun sumber dan media yang ada. Karena itulah hal yang menjadi titik tolak perbedaan antara mahasiswa dan anak Sekolahan. Ketika anak sekolahan harus disuapi setiap kali, mahasiswa harus cerdas, kritis dan aktif bahkan bila perlu memiliki pengetahuan yang seluas-luasnya. Itulah kenapa terkadang dosen hanya memberikan mata kuliah seadanya, dengan maksud untuk membentuk mahasiswa yang mandiri dan tanpa “suap”.

Namun sayangnya tak jarang dari mahasiswa sendiri kurang memahami peran tersebut, ia hanya akan melakukan protes di balik layar ketika ujian yang dikeluarkan dosen, sedikit berbeda dengan apa yang diajarkan. Lagi-lagi mahasiswa memang harus kritis. Ia tidak bisa hanya mengandalkan fakta dan logika, tetapi juga harus memiliki daya nalar yang mendalam.

Itulah juga yang saat ini menjadi alasan mendasar, kenapa banyak petani yang kehilangan kepercayaan kepada penyuluh. Bukan salah petani yang terlalu cerdas, karena ia selalu melakukan teori, bisa jadi salah mahasiswanya yang kurang bahan sehingga ketika ditanya petani apa yang ditanyakan beda dengan apa yang dijawab. Padahal ketika kuliah mahasiswa tidak hanya mendapatkan ilmu secara teoritis, tetapi ilmu aplikatif dalam praktikum-praktikum yang memakan jam yang banyak. Namun lagi-lagi sayangnya, sebagian mahasiswa yang menjadi patokan mereka ketika melakukan praktikum adalah agar tidak dimarah asisten atau untuk menadapat nilai. Niat tentunya berbanding lurus dengan hasil yang akan diperoleh. Ilmu tanpa amal pincang, amal tanpa ilmu buta..

Minggu, 15 Juli 2012

Pilihan-Pilihan


Awan-awan berkumpul dan berhimpun
Namun tetap saja hati ini bercerai berai
Langkah bahkan sempat lunglai
Aku disini, sedang pikiranku ke dunia antah bernatah yang tak aku ketahui
Lihatlah, hari ini aku harus memilih lagi..
Dua hal yang tak menyulitkan
Namun aku hanya diizinkan memilih satu
Oke cukup
Biar hati gerimis saja
Biar jalanan lengang saja
Seperti setapak menujui puncak-puncak berembun itu
Biar aku mimilih tak kemana-mana

~Layo dilanda gerimis
Jalanan lengang
Menikmati senyum khas ibu2 lagi
Membuka pori, mengeluarkan keringat

Ahad, 15 Juli 2012 jam 07.00 W.I.B
#APPELOI

Jumat, 13 Juli 2012

KITA

Malam ini bahkan kemarin dan kemarinnya lagi
Semesta berbicara tentang kita
Sekumpulan random yang mengkitakan dirinya
Semesta bergemuruh lewat desau angin
Mengumpulkan resah
Lalu gerimis yang mencipta riak kecil
Di atas tanah itulah kita menghempas
Menapak kesucian debu-debu jalanan
Bukan onak duri yang berarti
Tapi rasa ketika memijakinya
Bukan pula terjal dan berliku
Tapi hentakan langkah kita
Yang beriringan salam malaikat
Jadikan Kita berkumpulan dalam pola
Membentuk kita menjadi sekumpulan bilangan majemuk
Karena kita kegenapan
Karena kita kefutuhan
Menjadikan kita ukiran sejarah yang tak diam
Pun tergantikan..
Kita tetap ada..

Air, Embun, Bintang, Langit, Pelangi

Menghargai hidup, itu artinya menghargai apa2 yang Allah berikan kepada kita. Kesusahan, kesenangan..
adalah bagian agar hidup menjadi lebih hidup.
seperti air yang bermanfaat..
seperti embun yang bening menggeliat
seperti bintang yang rela menunggu jutaan tahun untuk memancaarkan sinaarnya..
seperti langit yang biru berkisah..
seperti pelangi yang tak sempurna bulatnya..

Jangan sekedar diLihat, tapi juga di baca yo..!

Jangan sekedar diLihat, tapi juga di baca yo..!
Semoga bermanfaat.

Label

Powered By Blogger